Give
Up
Author Pov*(sudut pandang)
Hari
menjelang sore. Matahari mulai beristirahat untuk hari esok.
Seorang guru melangkah di koridor sekolah
yang mulai sepi. Tangan lentiknya menyusuri tembok putih tulang di sisi kiri
koridor.
“Selamat
tinggal.” Ucapan lirih keluar dari bibirnya.
.
Shin
Chuan Senior High School. Salah satu sekolah didaratan China. Sekolah yang tak
terlalu mencolok. Bangunan yang tak terlalu megah, prestasi akademik ataupun
non akademik siswa-siswi yang tak terlalu menonjol. Sekolah yang sebenarnya
sudah mulai tertinggal dengan sekolah China lainnya.
Teng..Teng..Teng..
Bel
Sekolah berbunyi, menandakan selesainya kegiatan belajar mengajar hari itu.
Kelas 3-C yang tadinya tenang mulai gaduh.
“Hah
akhirnya selesai juga.” Seorang siswi merenggangkan tangannya tinggi-tinggi,
berharap mengurangi rasa pegal setelah berkutat dengan buku hingga berjam-jam.
“Hah
Yuki. Kenapa kau selalu memakai waist-band? Kau bukan ketua klub basket kan?”
siswi itu bertanya pada teman di sebelahnya yang sibuk membereskan buku diatas
meja.
“Memangnya
kenapa? Kau sewot sekali dengan apa yang aku pakai, Mayu. Kau menginginkannya?
Maaf ini sesuatu yang penting untukku.” Anak yang di panggil Yuki itu berdiri
dari duduknya.
“Ah.
Anak-anak sebelum kalian pulang, aku punya sebuah pengumuman untuk kalian.”
Wanita berumur 40-han tahun didepan kelas yang diketahui wali kelas mereka, Sinoda
Mariko. Ia angkat bicara di sela-sela kesibukan anak didiknya untuk pulang.
“Ah
Sensei aku ada les hari ini.” Siswi di bangku belakang mulai protes dan di
ikuti dengan protes dari murid lainnya.
“Ini
hanya sebentar.” Mariko menunjukkan beberapa lembar surat ditanggannya. Ia
mulai mengitari ruang kelas dan membagikan surat yang sudah ia beri nama
sebelumnya. Seluruh siswa hanya melihat heran melihat seonggok kertas dihadapan
mereka saat ini.
“aku
yakin kalian bingung dengan ini semua.” Mariko seakan mengerti apa yang mereka
pikirkan. “Akan kuluruskan semuanya.” Ia memberi jeda pada perkataannya.
“Sebenarnya hari ini adalah hari terakhirku mengajar disekolah ini. Dan surat
yang ada di tangan kalian adalah surat tanda kelulusan dariku sekaligus surat
wasiatku untuk kalian.”
“Surat
wasiat? Apa artinya kau akan mati Mariko Sensei?” seorang siswi bernama Kazune
bertanya sambil tertawa mengejek.
“Ya~
bisa dibilang begitu. Aku mengidap kanker perut stadium akhir. Hidupku tak akan
lebih dari 3 bulan. Sayang sekali aku tak bisa lihat kalian lulus. Yang harus
kalian ingat adalah masa muda adalah
masa yang paling indah dalam hidup kalian. Pergunakan masa-masa ini
dengan baik. Jangan sampai kalian menyesal di kemudian hari. Baiklah mungkin
hanya itu yang bisa aku katakan. Jika ada kesalahan mohon dimaafkan.” Mariko
membungkuk dan berjalan keluar kelas meninggalkan siswa-siswinya terdiam. Namun
hal itu tak bertahan lama...
“Ha?
Apa-apaan dia? Dia meninggalkan kita saat kita membutuhkannya?” Wookie
menggerutu.
“Menjengkelkan.
Hei maksudnya apa ini?” Minnie menunjukkan suratnya pada Wookie
‘kau pasti bisa menenggung bebanmu,Minnie’
begitulah isi surat Minnie.
“Kau juga haru lihat suratku.” Wookie menunjukkan suratnya pada
Minnie.
‘jangan terlalu fokus dengan hal
besar. Lihatlah hal-hal kecilnya.’ Minnie dan Wookie menggeleng pelan setelah
membaca kedua surat mereka.
“Ha? Surat wasiat menjijikan.” Mayu mengejek surat
Mariko walaupun tetap ia simpan
“Mati
ya mati saja. Siapa peduli.” Ucap Sae.
“’Jika
ada kesalahan?’ Jelas-jelas dia tak pernah peduli pada kita. Itu kesalahan
terbesarnya.” Setelah mengucapkan hal itu Nita langsung beranjak dari kelas
yang amat sangat gaduh itu.
“Hus
hus pergi sana jangan kembali. Hahaha.” Kazune lagi-lagi mengucapkan hal kasar.
Seorang
siswi membuka suratnya tanpa menghiraukan teman-temannya yang terus berkata tak
baik. Matanya terbuka sempurna setelah membaca beberapa rangkaian kata yang
tertata rapi di atas secarik kertas itu. ‘Bagaimana ia bisa tau?’ begitulah
katanya dalam hati.
Jadilah dirimu sendiri. Temukan teman yang tepat untukmu, Yuki-San.
Dan jika kau merasa mau potong
nadimu, tolong telpon aku.
021-543-675-766
Siswi
bernama Yuki itu melangkahkan kakinya yang tadi sempat tertunda. Tanpa ia
sadari ia sudah sampai kesebuah pohon sakura yang kering di tengah taman.
Seorang wanita tampak sedang berbicara dengan seorang pria tua.
“Kau
yakin akan menumbangkan pohon sakura ini?” tanya pria tua itu.
“Ya,
untuk apa pohon ini ada disini? Lebih baik dibuat kolam atau yang lainnya.
Sesuatu yang tak berguna lebih baik dibuang.” Wanita itu tak menyadari bahwa
perkataanya membuat beberapa orang yang ada di taman itu mendesah kecewa.
Wanita itu membuang selembar kertas ke tempat sampah terdekat.
Dan
untuk yang kesekian kalinya Yuki melangkah menuju jembatan layang rel kereta
api. Tempat yang bisa membuang sedikit rasa sesak di dadanya. Melihat kereta
api melintas di bawah sana. Benar-benar membuatnya merasa lebih baik.
Toko
alat tulis adalah tujuan berikutnya. Ada beberapa benda yang ‘harus’ ia beli.
Benda yang selalu menemani hari-harinya.
“Aku
harus beli berapa ya?” ucapnya lirih. Yang tentu saja hanya bisa didengar
olehnya.
Yuki Pov.
Disinilah
aku, kamarku. Tempat dengan segudang buku tentang kereta api. Kuletakkan benda
yang baru saja kubeli kedalam laci. Kubaringkan tubuhku diatas kasur. Hah hidup
ini membuatku merasa serba salah.
Sekolah,
dimana aku menjadi orang yang berbeda dari diriku yang sesungguhnya. Aku selalu
berakting di depan mereka. Selalu menjadi wanita yang tegar, aktif dan periang.
Aku benci dengan mereka, mereka hanya
menginginkan hartaku. Tak ada seorangpun yang menerti diriku didunia ini,
termasuk diriku sendiri.
Sedangkan
di rumah..
Sudahlah
tak usah dipirkan. Hal itu malah akan membuatku semakin menyesal karena
terlahir didunia ini.
.
Grek..
Kugeser
pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan ruang makan. Kulihat Ayah, Ibu,
Kakak, dan adikku sudah menempatkan diri di kursi masing-masing.
“Ah
Yuki kau terlambat lagi. Cepat duduk, kita rayakan keberhasilan kakakmu.”
Lagi-lagi perayaan. Sedikit dapat penghargaan selalu ada perayaan.
Kududukkan diriku ke tempat duduk yang
masih tersisa. Kutatap makanan di depanku dengan malas.
“Hankyung
kau sangat hebat. Padahal kau masih mahasiswa, tapi sudah mampu lulus dalam tes
itu. Kudengar banyak yang tidak lulus lo. Kau anak yang sangat beruntung.
Akupun bisa cerita banyak pada tetangga.” Kudengar ibu mulai memuji kakak
dengan sejuta kata-katanya.
“Melihat
keberhasilanmu sekarang, rasanya tak sia-sia kami membesarkanmu.” Kali ini ayah
yang memuju kakak. Dan aku tau arah pembicaraan ini, pasti...
“Kakakmu
mahasiswa teladan. Adikmu, Kyunie juga walaupun masih SD dia sudah banyak
menjuarai olimpiade. Kau harus mencontoh mereka.” Benar kan apa yang ku
pikirkan. Ibu mulai lagi membanding-bandingkanku dengan mereka.
“Sudahlah
bu, lagi pula Yuki itu perempuan.” Kudengar kakakku membelaku. Ya aku sedikit
terhibur dengan ucapannya. Aku juga tak terlalu membencinya.
“Mungkin
benar. Tapi Yuki kau harus belajar dan bekerja keras seperti kakakmu. Disekolah
biasa saja kau tak pernah dapat juara.” Tapi kebahagiaan itu tak berangsur lama
saat ibu mulai menaruh harapan kosong padaku.
“Kau
bisa kan Yuki?” Kudengar lagi ucapan lembut ayahku. Tapi terdengar seperti
sesuatu didalam sana. Sesuatu yang terdengar seperti kalimat yang terpaksa
keluar dari bibirnya.
Dan
untuk yang entah keberapa ayah dan ibu mulai memuji kakak lagi, sedangkan
adikku juga ikut bercanda dengan mereka.
Tak
sadarkah kalian? Kalian telah membuatku menjadi seseorang yang berharga.
Seseorang yang harus dibuang. Padahal kalian ada dihadapanku tapi kenapa kalian
begitu jauh?
_____________________________________________________________________________
Brak..
Ku
membanting pintu kamarku yang tak berdosa sama sekali.
‘Kakakmu
mahasiswa teladan. Adikmu juga walaupun masih SD dia sudah banyak menjuarai
olimpiade. Kau harus mencontoh mereka.’
‘Tapi Yuki kau harus belajar dan
bekerja keras seperti kakakmu. Disekolah biasa saja kau tak pernah dapat juara.’
‘Sesuatu yang tak berguna lebih baik
dibuang’
Kata-kata itu terus saja berputar di
kepalaku. “arghh”
Greek..
Kubuka
laci dimana aku menyimpan benda itu. Kuambil salah satu darinya. Kutarik waist-band
yang biasanya kupakai. Benda yang selama ini aku pakai untuk menutupi bekas guratan
yang aku buat sendiri. Kupegang benda yang baru aku ambil tadi yang mungkin
lebih tepat disebut cutter.
Aku siap untuk menyayatkan cutter ini ke
pergelangan tanganku.
Dan
jika kau merasa mau potong nadimu, tolong telpon aku.
Kenapa disaat-saat seperti ini aku malah
teringat tentang surat itu. Hah tidak.
Drrrt..drrrt..
Ponselku berbunyi, hah mengganggu saja.
Kubuka pesan yang dikimkan untukku.
‘Jika
kau memotong nadimu, pastikan kau tidak sampai meninggal. Jangan sia-siakan
kesempatan ini.’
Mariko
Hah dia?
.
Author Pov.
Seorang
wanita didalam sebuah kamar rumah sakit membaca balasan pesan dari seorang siswi.
Dia mengetikkan pesan kembali pada siswi itu.
‘bagaimana
anda bisa tau?’
wanita
yang diketahui bernama Mariko itu membalas pesan dari sang siswi.
‘karena
kau siswiku yang berharga.’
Ia menghela nafas, tak peduli orang berkata
kalau kita mengela nafas maka kebahagiaan kita akan berkurang satu. Saat ini ia
hanya berfikir bagaimana cara untuk menyadarkan salah satu siswinya itu. Ia
menatap sebuah buku dihadapannya. Buku yang berisi tentang perkembangan para
muridnya selama ini.
‘
Sashihara Yuki. Anak yang
terlihat ceria, tapi sebenarnya anak yang tertekan. Selalu memakai baju lengan
panjang dan waist-band.Berusaha menutupi luka guratan pisau ditangannya.’ Begitulah isi dari salah satu halaman di
dalam buku tersebut.
Drrt..drrt..
Sebuah pesan masuk diterima Mariko.
‘anda
tidak pernah peduli dengan murid anda’
ia tersenyum dengan balasan dari muridnya
yang satu ini.
Sementara
Yuki terlihat geram dengan sikap sok tahu dari mantan gurunya itu. “memangnya
dia siapa? Jangan kira kau tau segalanya tentang aku.” Dia menggerutu sambil
merebahkan atau lebih tepatnya membanting tubuhnya sendiri ke tempat tidur.
.
Yuki Pov.
‘Saat di sekolah besok, coba perhatikan
bangku paling depan’
kubaca
lagi pesan dari Mariko-sensei tadi malam. Kualihkan pandanganku ke arah depan.
Bangku paling depan? Bukankah itu bangku Rie. Kitahara Rie.
Sepertinya ia tau bahwa aku memperhatikannya. Dia menongok
kebelakang, dimana aku masih memandanginya. Beberapa saat pandangan kami
bertemu dan benih-benih cinta muncul kudekati dirinya, lalu lalu #plak
(Digampar author karena nyimpang dari cerita.) back to story. Beberapa saat
pandangan kami bertemu. Entah dia meresa tidak nyaman atau apa dia memilih
kembali membaca buku yang ada di tangannya.
“Rie
kau mau bepergian?” Minami salah satu teman sekelasku mendatangi Rie yang asik
dengan bukunya.
“Em
tidak.” Jawabnya singkat.
“Lalu
kenapa kau membaca buku keberangkatan kereta api?” mataku membulat sempurna.
Jangan-jangan dia suka kereta api. Kupikir hobi itu, hobi yang aneh. Aku senang
akhirnya ada orang yang sehati denganku.
Kuketik
pesan untuk Mariko sensei.
‘maksud anda Rie-san yang duduk di bangku
depan? Ia sedang melihat jadwal kereta api.’
Drrt..drrt... sebuah pesan dari Mariko-sensei aku terima. ‘Kau juga suka kereta api bukan?’ bagaimana
dia bisa tau banyak tentang diriku?
Kuketik lagi pesan yang akan aku kirimkan padanya. ‘Sensei bagaimana anda bisa tau?’
Tak
beberapa lama kemudian aku sudah menerima balasannya. ‘karena aku didekat kalian.’ Kututup handphoneku. Jawaban itu sudah
membuatku merasa sedikit lebih baik.
.
Kugeser
pintu dapur, dan menampakkan seluruh anggota keluargaku sudah mengelilingi meja
makan.
“Mau
kemana kita liburan ini.” Ayah memulai pembicaraan diantara mereka. Ya diantara
mereka, karena aku tak pernah dianggap ada di keluarga ini.
“Aku
ingin ke Bali.” Kyunie menjawab dengan seringai evil andalannya.
“Ide
bagus. anggap ini hadiah atas keberhasilan kalian berdua.” Ayah mengangguk
mengiyakan ucapan Ibu.
“Yuki.
Walaupun kau seudah diterima kuliah tapi bukan berarti kau bisa bebas
berkeliaran melihat kereta api setiap waktu.” Aku hanya dia tanpa menanggapi
ucapan ibu.
“Kau
ini perempuan.” Lirih memang, tapi aku bisa dirasakan nada mengejek dikalimat
ini. Aku diam.
“Yuki
jangan diam saja!” saat ini kudengar ibuku mulai menggunakan nada tinggi.
Biarkan saja.
“Ibu
jangan kasar pada Yuki. Yuki juga punya impian sendiri, bu.” Hankyung mulai
membelaku lagi. Entah karena memang sayang padaku ataupun hanya kasian.
“Usahanya
sangat lamban. Tidak seperti dirimu.” Ibu membela Hankyung. “Setiap ditanya
hanya diam, entah apa yang dia pikirkan.” Ibu melanjutkan kata-katanya dengan
nada dingin.
“Hankyung
ingin jadi Dokter sejak SD, dan itu sudah terwujud. Sedangkan Kyunie sudah
mendapatkan banyak sekali penghargaan, sudah pasti masa depannya terjamin.
Yuki, kau pun harus mulai memikirkan masa depan.” Ayah berkata dengan nada
bijak. Tapi tetap saja dia membandingkanku dengan Kyunie atau Hankyung. Aku
terdiam. Dan entah berapa kali aku mendesah pelan.
“Bisa
Tidak!” Ibu mulai membentakku lagi. Entah sudah berapa kali aku dibentak
olehnya.
Trak..
Kuletakkan sendok yang tadi aku pakai. Aku
sudah tak tahan. Kutinggalkan mereka yang menatapku dengan tanda tanya.”YA!
Yuki kau tidak makan? Paling tidak cuci piringmu.” Tak kuhiraukan panggilang
ibu.
Brak..
Ok aku yakin sudah ada retakan di pintu
kamarku itu. Langsung kusambar handphone diatas meja.
‘Sensei aku sudah tidak kuat. Aku mau potong
tanganku.’ Kuketik pesan itu dan mengirimnya. Cairan bening menetes
melewati pipi tembamku. Apa salahku? Kenapa mereka tak menyadari keberadaanku?
Apa aku anak angkat? Aku tau aku memang bukan anak yang pintar, ataupun bisa
dibanggakan. Tapi bisakah mereka memikirkan perasaanku sedikit saja.
‘Aku
ada bersamamu. Hadapi masalahmu jangan lari.’ Dia... mungkin benar apa yang dia katakan.
Mungkin aku harus mencoba untuk mendengarkan semua nasehatnya.
.
Kulangkahkan
kakiku memasuki kelas. Karena tempat dudukku berada di deretan paling belakang,
aku melewati meja Rie terlebih dahulu. Kulihat dia membuka lembar demi lembar
buku yang penuh dengan foto kereta api.
Dia
menoleh kesamping dimana aku berdiri. Segera kulangkahkan kakiku ke tempatku
duduk. Beberapa hari ini aku tak pernah berbicara pada seorangpun di kelas ini.
Sudah muak dengan semuanya. Lebih enak menjadi diriku yang sesungguhnya.
‘Sensei
Rie-san juga punya foto-foto kereta api.’ Kembali aku memulai balas-membalas
pesan dangan Mariko Sensei. Kata-katanya bisa membuatku lebih tenang.
‘Cobalah untuk berbicara dengannya.’ Berbicara
dengannya?
‘apa yang harus aku katakan?’
‘apapun boleh yang terpenting adalah
mempunyai keberanian untuk melangkah maju.’
Greek...
Aku bangkit dari tempat dudukku. Sudah
kuputuskan. Aku akan mulai berteman dengannya.
Kudekati
Rie. Aku harus berani. Sudah kuputuskan untuk menunjukkan sifat asliku padanya.
“Rie-san.”
Dia menoleh sesaat setelah aku memanggilnya.
“Ya,
ada apa Yuki-san?”
“Kau
suka kereta api?” tanyaku gugup.
“Ehm
ya begitulah. Sebenarnya aku sedikit malu dengan hobiku ini.” Dia menggaruk
tengkur belakangnya yang aku yakin tidak galal sama sekali.
“Aku
juga suka kereta api.” Kataku lantang.
“Ha?
Wanita periang sepertimu mana mungkin suka kereta api? Paling juga kau suka
dengan baju, kutex, ataupun parfum yang membuatku muntah.” Aku terkikik pelan
mendengar penjelasan polosnya.
“Aku
benar-benar suka kereta api. Lihat.” Kutunjukkan gambar kereta api tua yang
menjadi wallpaper di handphoneku.
“Kau
benar-benar suka kereta api sulit dipercaya. Kalau begitu kau pernah ke
Hokutosei dan Ginga?
(nama salah satu museum kereta api di
jepang)” tanyanya dengan riang. Tak pernah kulihat dia seriang ini. Padahal
sudah hampir 3 tahun kami berada dalam 1 kelas. Ya dia memang pribadi yang
pendiam.
“Tentu
saja. Aku bahkan membeli seperangkat coffee set dari ‘Asakaze’.”
“Benarkah?
Boleh aku melihatnya?” dia memasang wajah imutnya.
“Tentu
saja.”
.
Saat
ini aku dan Rie berada di jembatan layang rel kereta api. Berbincang-bincang
untuk semakin mendekatkan diri, ya begitulah.
“Kalau
saja aku tau kau suka kereta api, sudah kuajak bicara kau dari dulu. Berkat
surat dari Mariko sensei aku punya teman sepertimu.” Aku terkejut mendengar
nama Mariko sensei dari bibirnya. Tak pernah aku rasakan ada orang yang
benar-benar menyadari keberadaanku.
“Eh?
Kau juga membaca surat darinya?” tanyaku
“Tentu
saja. Awalnya aku memberinya pesan hanya untuk berterima kasih padanya karena
sudah merekomendasikanku ke Universitas. Tapi akhir-akhir ini aku semakin
sering berkirim pesan dengannya. Dan pagi ini dia bilang ‘lihatlah ke bangku
belakang. Aku yang dimaksud Mariko sensei itu Yuki.” Dia tertawa riang. Jika
biasanya dia menjadi sosok yang pendiam maka sekarang dia menjadi periang
dihadapanku.
“Aku
merasa tak dianggap, selalu dibuang, dan orang yang tidak di inginkan.
Disekolah aku bersikap periang untuk menutupi semua perasaan tertekanku.
Teman-teman hanya mempermalukanku disekolah, menyakitiku. Mereka bukan temanku.
Sedangkan di keluarga aku tak pernah dianggap. Ibuku selalu
membanding-bandingkanku dengan kedua saudaraku yang menonjol dalam bidang
akademik. bahkan aku tak pernah merasa hidup.” Aku menghela nafas untuk
melanjutkan perkataanku.
“Aku
bahkan selalu mencoba untuk bunuh diri. Dalam hati aku selalu berteriak ‘Aku
disini, aku ingin kalian juga memeperhatikanku. Jangan membuatku lebih tertekan
lagi.’ Tapi setiap aku ingin bicara mulutku tak bisa terbuka hiks.. mereka
malah makin memojokkanku. Hiks.. tak ada yang mengharapkanku. Hiks..”
Tep..
Kurasakan
sesuatu menyentuh pundakku.
“Aku tahu. Ini.” Rei menyerahkan selembar
surat. Surat dari Mariko sensei yang sudah aku buang dulu
“Aku
menemukannya di tempat sampah dekat pohon sakura. Dan aku juga merasakan
perasaan seperti itu. Hanya saja, aku akan bersikap periang pada keluargaku dan
bersikap pendiam di sekolah. Aku menyayangi keluargaku, sangat menyayangi
mereka. Aku tak mau membuat mereka khawatir. Jika kau memiliki masalah
ungkapkanlah pada mereka. Aku yakin mereka akan mengerti.”
Kutatap
mata bulatnya dalam mencari kesungguhan didalamnya. Dia mengangguk pelan.
“Tapi... hari ini aku bisa mengalahkan
semua itu.” Aku bicara sambil mengusap air mata yang jatuh.
Sret..
ku ulurkan tanganku.
“Jika
kau tak pernah mengulurkan tangan. Maka takakan ada orang yang menyambutnya.”
“Yuki.”
Kulihat matanya berkaca-kaca.
“Maka
dari itu kita harus mengulurkan tangan. Dan dari situlah kekuatan akan muncul.”
Rie
menyambut uluran tanganku.
“Sekarang
kita teman ya.” Ucapnya.
“Tentu.”
Akhirnya
aku memiliki seseorang untuk berbagi suka dan duka. Rie, akan kupastikan kau
bahagia.
Author
Pov.
Keheningan
melanda dikeluarga itu. Hanya bunyi sendok dan garpu yang saling beradu.
“Yuki sampai kapan kau mau seperti itu?
Makanan kok pilih-pilih. Contoh kakakmu...”
“Berhenti.”
Perkataan wanita yang berperan sebagai ibu itu terpotong oleh perkataan gadis
yang lebih dikenal dengan nama Yuki.
“Berhenti
membandingkanku dengan Hankyung atau Kyunie.” Ucap Yuki sambil menatap
makanannya.
“Ah
kapan ibu membandingkanmu dengan mere...”
Trak..
lagi lagi perkataannya terhenti
karena Yuki meletakkan sumpit yang baru saja ia pakai.
“Setiap waktu!” Yuki menaikan
nada bicaranya.
“
’Kakakmu mahasiswa teladan. Adikmu, Kyunie juga walaupun masih SD dia sudah
banyak menjuarai olimpiade. Kau harus mencontoh mereka.’
‘ Kau tak punya semangat, Yuki.’
‘Usahanya sangat lamban. Tidak
seperti dirimu.’ ”
“Ibu
melakukan itu karena...”
“sebenarnya
ibu ini ingin aku seperti apa? Ingin aku menjadi juara 1 disekolah, lalu ibu
akan membicarakannya dengan tetangga dan mengharapkan mereka berkata ‘wah putri
anda hebat sekali. Andai putriku juga seperti itu’ begitukah?” Yuki tersenyum
mengejek.
“Aku
adalah aku. Aku punya sisi baik yang tidak kalian tahu.” Yuki memangdang
seluruh keluarganya yang terdiam. Mungkin mereka sudah menyadari kesalahan
mereka pada putri satu-satunya.
.
“Rie
kau mau kemana jangan jauh-jauh nanti kepisah.” Yuki mengejar Rie yang mulai
berlari mengelilingi museum kereta api.
“Yuki
ayo foto!” Rie melambaikan tangannya, memberikan isyarat pada Yuki untuk
mendekat.
“Baiklah..
siap-siap. Hana.. dul.. set.. cheese!”
.
Sementara seorang wanita yang terbaring di
rumah sakit melihat subuah foto di handphonenya. Foto yang baru saja ia
dapatkan dari murid didiknya, Yuki. Wanita itu aka Mariko menatap buku laporan
kesiswaan yang ia buat beberapa waktu lalu.
“Sepertinya
laporan ini sudah tidak berlaku lagi.”
.
Pagi
yang cerah dan tenang...
“TEMAN-TEMAN!”
ah seorang siswa berteriak sambil mengatur nafas.
“Ya
Wookie jangan berteriak seperti itu.”
“Kau
mau buat kita gudeg.”
“Kazune
harusnya Budeg bukan Gudeg.”
Yang
ada di kelas itu mulai ricuh.
“Ya!
Aku punya kabar.” Orang bernama Wookie itu memberi jeda pada kalimat
selanjutnya.
“Keadaan
Mariko Sensei makin parah.” Perkataanya membuat seluruh siswa di kelas itu
terdiam.
“Eh
keadaannya makin parah? Pantas akhir-akhir ini dia tak pernah mengirimiku pesan
lagi.” Ucapan Yuki ditanggapi Rie dengan anggukan.
“Kita
harus menjenguknya nanti. Dia sudah berjasa pada kita karena surat itu.” Nita
memberi usul pada yang lain. Yang lain mengangguk. Pada akhirnya mereka membaca
surat dari Mariko. Walaupun pada awalnya mereka mengejek isi surat itu. Tapi
rupanya surat itu benar-benar berguna. Surat itu membantu mereka dalam
menghadapi masalah masing masing. Contohnya Minnie yang dapat membagi waktu
antara basket dan juga belajarnya. Wookie yang menemukan seberapa penting
keluarga baginya, walaupun keluarga itu bukan keluarga kandungnya. Kazune yang
mulai lepas dari narkoba. Nita yang selalu disiksa oleh ayahnya. Dan juga Mayu
dan Sae yang mampu mempertahankan persahabatan mereka.
“Tapi
sebelum itu kita harus menemui anaknya dulu.” Kata Wookie.
“Memangnya
kenapa?” tanya Minnie
“Dia
ada masalah dengan anaknya beberapa tahun terakhir ini. Dan mereka tak pernah
bertemu lagi sejak saat itu.” Ucap Silla sensei yang baru saja masuk kedalam
kelas.
“Silla
sensei!” mereka kaget dengan kedatangan wali kelas baru mereka yang tiba-tiba.
“Kalian
berjuanglah untuknya. Dan aku dengar ia sangat menyukai pohon sakura. Bahkan ia
merawatnya dengan setulus hati. Kalian bisa mengajaknya kesana, mungkin untuk
terakhir kalinya.”
“Pohon
sakura? Apa pohon yang ada di taman dekat sini?” tanya Yuki
“Iya.”
Jawab Silla sensei singkat
“Ah
jadi pohon itu. Untung saja kita menyelamatkan pohon sakura itu ya kan Yuki.”
Ucap Rie yang dijawab anggukan oleh Yuki.
“Sebenarnya
pohon itu mau ditebang karena tak bisa berbunga. Tapi Aku dan Rie ingin pohon
itu berakhir seperti diriku yang sekarang. Memiliki teman sejati dan keluarga
yang bahagia.” Ucap Yuki
“Sudah
cukup selama ini pohon itu selalu berusaha untuk dirobohkan. Dia juga harus
hidup bahagia. Walaupun pohon itu masih belum berbunga sampai sekarang” Sambung
Rie.
“Kalau
begitu ayo kita mulai rencana.” Ucap Wookie.
.
Hari-hari
mereka lewati dengan cepat. Seorang gadis mendorong kursi roda yang diduduki
oleh ibunya. Rena, nama gadis yang sedang mendorong kursi roda Mariko, Ibunya.
Mereka menuju ke suatu tempat. Tempat yang selalu membuat hati Mariko kembali
damai.
“Ibu
buka matamu.” Ucap Rena lembut agar ibunya membuka mata.
“Ah
ini.” Mariko terkejut dengan apa yang ada di hadapannya. Sebuah pohon sakura
berdiri kokoh di tengah taman. Pohon yang selalu ia rawat selama ini. Tak
bergeser satu jengkalpun dari tempat yang seharusnya. Bahkan sekarang pohon itu
makin cantik dengan sentuhan warna pink di setiap bahannya. Padahal terakhir
kali ia kesini, ia mendapat kabar bahwa pohon itu akan segera ditebang karena
tak bisa berbunga. Dan ia pikir usahanya selama ini sia-sia belaka.
“Mariko
sensei.” Wookie muncul dari balik sebatang pohon dan diikuti yang lainnya.
“Kalian?”
kini Mariko bertambah kaget dengan kehadiran murid-murid yang selama ini ia
perhatikan diam-diam
“Anda
membiarkanku menjadi ketua kelas melakukan segalanya sendirian. Semua murid
menganggap anda gagal menjadi wali kelas kami. Kami pikir yang ada di pikiran
anda hanya sesuatu yang tidak berguna. Kau bahkan merawat pohon sakura ini
sampai tak pernah kontrol kesehatan. Dan maaf karena pohon ini masih belum bisa
berbunga.” Kata Wookie. Sejujurnya yang ada diatas dahan pohon itu adalah
kertas krep yang ditempel.
“Dan
tiba-tiba Sensei memberi kami masing-masing sebuah surat.” Minnie menyambung
kata-kata Wookie.
“Saat
kami membacanya kami sama sekali tak tau maksudnya. Tapi rupanya isi surat itu
adalah sesuatu tentang diri kami.” Kazune yang dulunya kasar sekarang pun mulai
bisa bicara lembut.
“Melalui
surat itu kami menemukan sesuatu dari diri kami.” Kali ini Nita yang bicara.
“Butuh
keberanian yang besar untuk melakukannya, namun akan lebih mudah bagi kami...”
Yuki memberi jeda dan “...seandainya kami tahu sensei selalu mengawasi kami”
“Ini
karena...sensei percaya pada kemampuan kami semua.” Ucap Rie.
“Sensei
ingin membungkus kami seperti pohon sakura tujuannya untuk melindungi kami dan
mempersiapkan kami.” Mayu berkata.
“Sensei
selalu berdiri disini dan mengawasi kami seperti pohon sakura ini. Selalu ada
disamping kami.” Miu sahabat Mayu yang berkata kali ini.
“Hari
ini siswa-siswi kelas Mariko Shin Chuan Senior High School telah lulus dan akan
memahat masa depan masing-masing.” Yuki bicara lagi.
“Semua
yang anda berikan akan menjadi penerang hidup kami.” Rie mulai berkaca-kaca
dengan kata=katanya sendiri.
“Mariko
sensei kau adalah pohon sakura kami.” Seluruh siswa berkaa serempak.
“Terima
kasih. Terimakasih juga karena kalian sudah hubunganku denga Rena menjadi lebih
baik.” Mariko berusaha menahan air mata yang mulai menumpuk di pelupuk matanya.
Alunan
musik mengalun mengiringi rasa haru mereka.
“Ibu
ini..” Rena menatap Mariko.
“Iya
ini lagu yang pernah kita buat bersama. Rena maukah kau bernyanyi bersama
mereka?”
Rena
mengangguk mendengar permintaan ibunya.
Sakura no
kini narou
AKB48
Haru iro no sora no shita o kimi wa hitori de aruki
hajimeru nda
(Kau mulai berjalan sendiri, di bawah langit biru)
Itsuka mita yume no yō ni egaite kita nagai michi
(Di
suatu jalan yang panjang seakan hanya ada dalam mimpi)
Seifuku to sugita hibi o kyō no omoide ni shimai konde
(Melupakan hari-hari berseragam yang berlalu dan kenangan
akan hari ini)
Atarashiku umarekawaru sono senaka o mimamo~tsu teru
(Menyaksikan
perubahan baru dalam dirimu dari belakang)
Fuan-sō ni furimuku kimi ga muri ni hohoenda toki ni
(Disaat kau berpaling, tiba-tiba tersenyum dengan terpaksa)
Hō ni ochita namida wa otona ni naru tame no piriodo
(Air mata jatuh di pipimu pertanda telah tiba saatnya untuk
menjadi dewasa)
Eien no sakura no ki ni narou
(Aku akan menjadi pohon Sakura yang abadi)
Sō boku wa koko kara ugokanai yo
(Karena aku takkan beranjak dari sini)
Moshi kimi ga kokoro no michi ni mayotte mo
(Meskipun kau tersesat di jalan menuju hatimu,)
Ai no basho ga wakaru yō ni tatte iru
(Aku akan tetap disini sehingga kau tahu dimana cinta itu
berada)
Dare mo kai mune ni oshibana no yōna
(Suatu saat, semua orang lupa akan tekadnya, bagai bunga
yang digenggam di dada)
Kesshin o doko ka ni wasurete iru
(Ingatlah, ketika musim sakura sedang berbunga)
Omoidashite sakura ga saku kisetsu ni
(Ingatlah tentang aku..)
Boku no koto o ichi-hon no ki o
(Tentang satu pohon itu..)
Eien no sakura no ki ni narou
(Aku akan menjadi pohon Sakura yang abadi)
Sō boku wa koko kara ugokanai yo
(Karena aku takkan beranjak dari sini)
Moshi kimi ga kokoro no michi ni mayotte mo
(Meskipun kau tersesat di jalan menuju hatimu)
Ai no basho ga wakaru yō ni tatte iru
(Aku akan tetap disini sehingga kau tahu dimana cinta itu
berada)
****
Yuki Pov.
3 tahun
kemudian
Hari
ini aku, Silla sensei dan semua teman-teman alumni Shin Chuan Senior High School
lainnya datang ketempat itu. Taman dimana kami merayakan kelulusan kami.
Memberikan sesuatu yang berarti bagi Mariko Sensei.
Beberapa
hari setelah setelah hari itu Mariko Sensei meninggalkan kami untuk selamanya.
Meninggalkan kami dengan sejuta pelajaran hidup penting bagi kami. beliau
meninggal dengan tersenyum dan tanpa penyasalan. Segalanya yang ditinggalkan
Mariko Sensei.... ada disini.
Dan
beberapa hari yang lalu aku dengar dari Rena bahwa pohon sakura iru telah
berbunga. Usaha kami dulu tak sia-sia. Kami benar-benar mempertahankannya agar
tak ditebang. Hasil yang berbuah manis.
“Ayo
cepat.” Wookie mendahului kami yang sedang berlari.
“Ah
indahnya.” Seru semua tak terkecuali aku dan Rie yang terkagum-kagum.
“Eh
Yuki kau lihat itu?” tanya Rie padaku sambil menunjuk ke arah pohon sakura.
“Eh
itu? Mariko sansei?” dia tersenyum padaku.
“Hei
lihat itu Mariko sensei.” Minnie juga menunjuk ke arah yang sama dengan Rie.
Rupanya bukan hanya aku dan Rie saja yang merasakannya, tapi yang lain juga.
Mariko
Sensei kau yang telah membuatku seperti ini. Membuatku mengerti betapa
pentingnya kehidupan. Masih banyak orang yang sayang dan peduli padaku.
Mariko
sensei aku tau kau selalu ada disini. Didalam hati kamu semua. Selalu bangkit
seperti pohon sakura. Aku yakin kau mengawasi kami dari sana, Meminta pada
tuhan agar kami selalu melindungi kami.
Aku
berjanji semua yang kau lakukan padaku selama ini tak akan sia-sia.
Aku
berjanji untuk hidup dengan bahagia.
“Xie
xie Mariko Sensei”
THE END
By Dyakurousagi34~7
0 komentar:
Posting Komentar